Nyanyian jiwa dari tanah Mataram

“..harus ada yang dikerjakan agar kehidupan berjalan wajar
hidup hanya sekali wahai kawan, aku (kami) tak mau “mati” dalam keraguan..”

Ambang kesimpang-siuran arah dan langkah menuju sebuah kebersamaan dalam membangun daerah tercinta—Bolaang Mongondow—beban lumayan berat harus dipikul oleh (segelintir) mereka yang benar-benar peduli terhadap perubahan daerahnya. Semangat membara dalam jiwa mereka, buah pikiran berpacu dalam akal mereka, bahkan separuh hidup didonorkan semata-mata demi melihat bumi totabuan bersiul riang gembira yang menyatu dalam kesejahteraan dan kesetaraan rakyatnya. Ironisnya di sisi lain, para elite politik dan petinggi dijajaran birokrat dengan semangat—yang tentu berbeda—berlomba bahkan bergiliran mengeksploitasi sebanyak mungkin apa aja asalkan menguntungkan demi memperbanyak pundi-pundi uang dikantong mereka, dari berbagai kesempatan dan kemungkinan secara “implisit” mereka seakan masa bodoh dengan kemunduran yang mengarah pada kehancuran daerah sendiri hanya agar kehidupan dirinya berlimpah uang, keluarga dan kerabat terdekatnya terfasilitasi. Walaupun tidak ada aturan (agama atau hukum) yang melarang manusia untuk kaya, banyak duit, hidup mewah dan terfasilitasi, tapi yang menjadi pertanyaan dan bisa jadi masalahnya adalah proses (bagaimana, darimana dan dengan cara apa) manusia memperoleh keberlimpahan itu?

Sekilas tentang realita diatas yang terbalutkan dalam fenomena kehidupan di Bol-Mong, tulisan ini dibuat semata-mata hanya agar terciptanya “muara baru” untuk merubah—setidaknya mendekati—kesalahan yang berkelanjutan di Bol-Mong, yang menurut saya sangat terorganisir. Karena sungguh memilukan jika Bol-Mong harus bergerak mundur kembali ke zaman kegelapan dimana daerah-daerah lain berlomba untuk mencapai kemakmuran. Kita dihadapkan pada dua sisi kebingungan yang sangat sempit satu dengan yang lainnya, bingung harus berbuat apa untuk menyadarkan para pejabat kita? Dan bingung untuk memilih pemimpin daerah yang benar-benar peduli terhadap hajat hidup orang banyak? Juga yang jadi masalahnya, ketika ada prioritas yang mengharuskan kita memilih satu dari dua kebingungan itu, kitapun jadi semakin bingung.
Berangkat dari kebingungan tadi, akhir bulan februari lalu putra-putri pelajar bumi totabuan yang berada di Jogjakarta dengan muscabnya telah menorehkan sejarah baru—khusunya untuk Jogja sendiri baru pertama kali—yaitu dengan berhasil menyelenggarakan proses demokrasi yang sangat demokratis dalam pemilihan ketua cabang KPMIBM Jogjakarta dengan Muhammad Furqon Abdul Aziz sebagai ketua terpilih, dua jempol untuk panitia pelaksana, congratulations untuk ketua terpilih dan tak ada ucapan apa-apa untuk kawan-kawan yang kalah. Euphoria yang tercurahkan dari proses pemilihan itu alangkah indahnya jika terus kita jaga sinarnya agar tetap memancarkan semangat kekeluargaan dalam keberagaman menuju keharmonisan bersama, untuk dapat diaplikasikan dan diapresiasikan demi perubahan daerah kita yang sedang jalan ditempat bahkan mundur. Saya yakin kalau politisi dan birokrat yang tak mau bertanggung jawab di Bol-Mong juga mahluk Tuhan yang pasti akan hilang ditelan alam, alias MATI. Karena saya enggan memakai kata “meniggal” bagi mereka yang tak lebih baik dari binatang.
“..harus ada yang dikerjakan agar kehidupan berjalan wajar, hidup hanya sekali wahai kawan aku (kami) tak mau mati dalam keraguan..”, sepenggal lirik dari Iwan Fals ini sedikitnya mewakili nyanyian jiwa kami akan disintegrasi sebagai wujud dari keburukan dan kebusukan pemerintah di bumi totabuan, cinta kami akan totabuan tak bertepi. Tunggu kami wahai para pemimpin bodoh (yang tak bodoh usahlah menuggu), karena kami yakin suatu hari nanti bumi totabuan akan dipimpin oleh pemimpin yang benar-benar paham dan mengerti bagaimana menahkodai Bol-Mong. Sadarlah yang mulia pejabat pemerintah yang banyak salah (yang tak banyak tak perlu sadar) bahwa “mors certa hora incerta”; kematian itu pasti tapi tak pasti kapan kematian itu terjadi, karena secara humanistic kami sangat menghormati kalian sebagai orang tua.
Akhirnya, bangkitkan cinta terdahap Tuhan, sesama manusia dan alam sekitar. karena ketika cinta sebagai nyanyian jiwa maka akan menarik “jiwa-jiwa” lain untuk sehati, senasib dan sepenanggungan demi terciptanya Bol-Mong baru dengan konsep yang jelas, system yang cerdas, moralitas kepemerintahan, keadilan sosial ekonomi, fenomenologis peradaban yang lebih manusiawi dan lain sebagainya***.


eb_

Comments :

1
401notfound said...
on 

hha numpang lewat

Post a Comment

 
IP

Masukkan Code ini K1-377868-X
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com